Tentang Wujud


Wujud dan Mahiyyah
Wujud adalah keberadaan atau ke-ada-an sesuatu. Sedang mahiyyah adalah keapaan atau jawaban dari pertanyaan " apakah …..?" . Mahiyyah yang tak memiliki wujud mempunyai sifat esensial mungkin ada dan mungkin tidak ada. Keadaan ini disebut dengan keadaan kesamaan. Sedang wujud yang tak memiliki mahiyyah tak terperikan dan tak terbatas walau dalam fikiran.
Wujud itu tunggal
Ambil dua sesuatu yang sebarang A dan B. Ketakberadaan A dan ketakberadaan B mempunyai efek yang identik, karena ketakberadaan sesuatu artinya ketakberefekan sesuatu tersebut. Karena itu keberadaan atau wujud A sama dengan keberadaan atau wujud B. Ini dapat digeneralisasi dengan induksi sempurna pada segala hal. Jadi wujud segala hal identik. Dan tidak mungkin sesuatu dalam pikiran manusia identik melainkan dihasilkan oleh satu hal yang tunggal di alam eksternal. Seperti halnya tidak mungkin satu telor dikeluarkan oleh lebih dari satu ayam betina.
Wujud itu real, dan bukan mahiyyah yang real
Jika mahiyyah yang real, maka bagaimana segala sesuatu (baca pula; segala mahiyyah) meninggalkan keadaan kesamaan? Artinya, jika mahiyyah yang real, segala sesuatu mungkin ada dan mungkin tidak ada dan tidak mesti ada. Padahal keberadaan segala sesuatu yang telah lalu dan saat ini mesti, - mereka benar-benar telah ada. Jadi ini adalah suatu kontradiksi yang mustahil terjadi.
Tuhan, sumber wujud segala sesuatu, itu ada dan Ia adalah wujud.
Karena wujud adalah sumber wujud bagi dirinya sendiri, dan ia pula adalah wujud segala. Maka Tuhan ada, karena wujud ada. Sebuah tambahan argumen bahwa Tuhan adalah wujud diberikan berikut ini. Jika Tuhan adalah sesuatu selain wujud, maka pasti ia memerlukan sebab untuk meng-ada. Dan jika ia memerlukan sebab untuk meng-ada, pasti ia bukan Tuhan, karena ada sesuatu yang menjadi sumber wujud selain diri-Nya.
Wujud itu tak terbatas.
Karena sekiranya ia terbatas, maka pembatasnya hanyalah ketiadaan. Dan jelas ketiadaan tidak memiliki keberadaan apa pun sehingga bisa berefek membatasi sesuatu.
Tuhan, -yaitu wujud-, tak mungkin dipahami sepenuhnya oleh akal / mental manusia.
Karena jika wujud dipahami sepenuhnya, - dalam seluruh aspek manifestasinya-, oleh akal manusia artinya ia telah terbatas oleh akal manusia, sedang telah dibuktikan bahwa wujud tidak terbatas, Mutlak dalam segala seginya.
Wujud adalah Kesempurnaan.
Karena wujud adalah realitas kesegalaan yang tunggal, maka Ia pasti paling sempurna dari segi kediriannya sendiri, yang tak lain adalah dari segi kesegalaan. Dan karena Ia adalah satu-satunya realitas kesegalaan yang ada, maka Ia - lah satu-satunya kriteria kesempurnaan. Jadi wujud adalah Kesempurnaan itu sendiri.
Wujud simpel (basith), -tidak tersusun atas bagian yang lebih kecil-, dan karena itu murni immaterial.
Karena sekiranya wujud tersusun atas bagian yang lebih kecil, maka bagian-bagian yang lebih kecil tersebut apa? Apa-pun jawabannya pasti akan berakhir dengan kesalahan logis petitio principii.
Debu-debu kejamakan muncul dari mahiyyah.
Yang muncul dari realitas pemikiran mental manusia, dan jelas tidak memiliki akar realitas.
Wujud ada dalam segala sesuatu, tanpa suatu persatuan (material) dan bukanlah segala sesuatu, tanpa suatu perpisahan.
Karena segala "selain" wujud tidak real, hanyalah bayangan, maka tidak mungkin bisa didefinisikan persatuan dan perpisahan sesuatu yang real dan sesuatu yang imajiner.
Dan, wujud meliputi segala sesuatu.
Karena wujud - lah yang mesti mendahului "selain"-nya tanpa kecuali. Wujud lebih prior dibanding segala waktu dan segala ruang, lebih prior dibanding segala substansi dan segala aksiden. Ke mana saja engkau menghadap di situlah Wajah Allah.
Dan, sesungguhnya dalam segala "selain" wujud pasti terdapat mahiyyah pertama, yang sering disebut dengan Akal Pertama atau Nur Muhammad.
Karena wujud tunggal tidak terbagi, yang pertama "muncul" darinya pasti tunggal dan tidak terbagi pula, dan inilah yang disebut dengan mahiyyah pertama.
Sehingga dalam segala, terdapat Allah dan Muhammad, yakni wujud dan mahiyyah pertama. Karena seluruh "selain" wujud mesti muncul melewati jalur mahiyyah pertama ini. Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersholawat kepada Nabi, wahai orang-orang yang beriman bersholawatlah padanya dan sampaikan keselamatan padanya

Kausalitas dan Korespondensi


Rangka-nya rangka dari seluruh sains maupun ilmu pengetahuan. Tidak lebih dan tidak kurang. Itulah prinsip kausalitas.
Ketika Newton melihat apel jatuh, konon, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan jatuhnya apel. Ini-lah yang meniscayakan adanya gravitasi dalam fisika. Ketika Mendell melihat keteraturan sifat - sifat hereditas, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan keteraturan sifat - sifat hereditas. Keyakinan ini menumbuhkan teori genetika.
Prinsip kausalitas berbunyi , "Segala sesuatu membutuhkan sebab untuk meng - ada, kecuali keberadaan itu sendiri." Sifat penting kausalitas pertama adalah keselarasan; yaitu satu sebab yang sama akan menghasilkan akibat yang sama. Selain itu adalah sifat kesemasaan sebab dan akibat, serta sifat relasi eksistensial antara sebab dan akibat.
Prinsip kausalitas adalah hukum dasar alam. Karena tanpa menerima prinsip kausalitas sebagai hukum dasar alam, yang merupakan salah satu dari the very properties of being, tidak mungkin kita meniscayakan satu hukum apa pun yang bersifat umum bagi alam.
Dan dia bukanlah merupakan hasil "korespondensi" atau "penghubung-hubungan" yang dilakukan oleh rasio manusia berdasarkan pengalaman inderawinya, sebagai-mana yang dikatakan oleh sebagian orang. Karena bahkan semua pengalaman inderawi kehilangan maknanya, bahkan seluruh alam materi tidak bisa ditahkik
keberadaannya tanpa menerima prinsip kausalitas dulu sebelumnya.
Dan bagaimana mungkin sebagian orang tersebut menjelaskan adanya hal - hal yang berkorespondesi secara berulang - ulang tapi tidak diyakini mempunyai hubungan kausalitas. Misalnya sesudah malam datanglah siang dan sesudah siang datanglah malam. Kenapa tidak ada seorangpun yang berfikir bahwa siang adalah penyebab malam dan malam adalah penyebab siang?
Maka, mestilah diterima ke - obyektif - an prinsip kausalitas, dan meyakini bahwa prinsip ini bukanlah prinsip psikologis saja. Sehingga dengan mata kausalitas mestilah diterima adanya penyebab seluruh alam materi ini, yang pasti bukanlah alam materi itu sendiri, atau sebagian darinya, karena materi bukanlah keberadaan sehingga mesti selalu memerlukan sebab untuk mengada. Sungguh ini adalah merupakan bukti yang terang tentang adanya alam immaterial, yang sebagian orang menyebutnya alam spiritual atau alam intelligebles. Sebagaimana para fisikawan meyakini eksistensi elektron? Atau lebih terang lagi?

Absolutisme versus Relativisme

Jika seekor kucing benar-benar berada di rumah, dan kita yakin bahwa "kucing ada di rumah", dan kita katakan bahwa "kucing ada di rumah", maka jelas keyakinan kita maupun proposisi yang kita nyatakan bernilai benar secara mutlak. Inilah yang saya maksudkan dengan absolutisme. Setiap peyakin kebenaran, mesti seorang absolutis. Dapatkah pernyataan ini kita buktikan secara lebih jelas?Mari kita mulai dulu dengan menyusun beberapa struktur lingua-franca untuk pembahasan kita saat ini. Apa yang dimaksudkan dengan alam dalam pembahasan kita dalam suatu himpunan. Dalam makalh ini akan ada tiga alam; alam mental, tidak lain adalah himpunan obyek dalam fikiran manusia; alam eksternal, tidak lain adalah himpunan obeyek di luar fikiran manusia; dan alam bahasa, tidak lain himpunan bahasa yang digunakan manusia. Dalam contoh di paragraf sebelumnya, keberadaan kucing di rumah merujuk pada suatu obyek dalam alam eksternal. Sedang keyakinan akan keberadaan kucing di fikiran merujuk pada alam mental. Dan pernyatan "Kucing ada di rumah" merujuk pada alam bahasa. Seseorang disebut absolutis, jika dan hanya jika, ia yakin ketiga alam tersebut, -mental, eksternal dan bahasa-, dalam kondisi tertentu, mungkin selaras. Artinya setiap hal yang ada di alam eksternal yang difikirkan oleh manusia mungkin ekivalen dengan fikiran manusia tentang hal itu. Lebih lanjut setiap hal dalam fikiran manusia yang dinyatakan dalam bahasa mungkin pula ekivalen dengan pernyataanya di alam bahasa.

Dengan bahasa yang lebih mudah, absolutis yakin bahwa mental manusia mungkin mencapai kebenaran mutlak tentang suatu obyek nyata, dalam arti, sesuaatu "fikiran" atau "keyakinan" dalam alam mental disebut benar jika ia mencerminkan keadaan obyektif sebenarnya di alam eksternal. Lebih jauh, absolutis, yakin bahwa bahasa mungkin digunakan untuk menyatakan kebenaran tersebut.

Sebaliknya seorang disebut relativis, jika dan hanya jika, ia bukan absolutis. Artinya, seorang disebut relativis jika salh satu aatau kedua kriteria di bawah ini terpenuhi;

1. Ia yakin bahwa tidak mungkin apa yang ada di alam eksternal ini ekivalen dengan apa yang ada di alam mental.

2. Ia yakin bahwa tidak mungkin menyatakan apa yang aada di alam mental dengan suatu bahasa yang akurat.

Poin pertama menghancurkan hubungan antara alam mental manusia dengan alam eksternal. Artinya seluruh bangunan pengetahuan dan keyakinan manusia runtuh, karena semua pengetahuan dan keyakinan manusia tidak ekivalen dengan apa pun dalam realitas sebenarnya. Poin kedua menghancurkan kemungkinan untuk mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan manusia apa pun.

Relativisme sejati dalam defenisi seperti di atas tidak mempunyai signifikansi sedikitpun untuk di bahas, karena jelas semua proposisinya pun hancur. Kenapa? Karena seluruh bangunan pengetahuan dan keyakinan sendiri pun termasuk proposisi-nya (poin pertama dan poin kedua) tersebut tidak mewakili kenyataan apa pun (berdasar poin pertama), atu jika tidak, seluruh pengetahuan dan keyakinannya sendiri termasuk proposisi-nya (poin pertama dan kedua) tidak mungkin dikomunikasikan sama sekali (berdasar pon kedua).

Filsafat barat modern menyandarkan dirinya dalam berbagai relativisme parsial yang akan diuraikan di bawah ini.

Rene Descartes, yang sering disebut sebagai Bapak Filsafat Modern, mengatakan dalam "Le Discours de la Methode" :

"Berhubung indra ada kalanya menipu kita, saya berniat menganggap bahwa apa yang biasa ditampilkan oleh indra kita itu sebenarnya tidak ada. Di samping itu, mengingat bahwa ada orang-orang yang keliru ketika menalar masalah geometri yang paling sederhana, sampai-sampai melakukan paralogi, serta mengingat pila bahwa saya sendiri pun mungkin keliru seperti yang lain, maka saya buang semua penalaran yang sebelumnya pernah saya buat sebagai pembuktian. Dan terakhir karena beranggapan bahwa sekua fikiran yang muncul pada waktu kita sadar dapat juga datang ketika sedang tidur tanpa ada yang benar satu pun. Saya memutuskan untuk berpendapat bahwa segala pendapat yang pernah terlintas dalam angan-angan tidal lebih benar daripada ilusi-ilusi dalam mimpi saya. Namun segera sesudahnya saya menyadari bahwa sementara saya berfikir bahwa semuanya tidak benar, saya sebagai yang memikirkanya haruslah merupakan sesuatu. Saya perhatikan bahwa kebenaran ini : Saya berfikir, jadi saya ada (Cogito ergo sum) begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptis yang paling berlebihan-pun tidak mampu menggoyahkannya."

Pertama, Descartes meyakini ketidak-absahan indera karena indera mungkin salah.

Kedua, Descartes meyakini ketidak-absahan penalaran kerana penalaran mungkin salah.

Ketiga, Descartes meyakini ketidak-absahan pemikiran karena fikiran tidak mampu membadakan yang khayal (atau mimpi) dan yang nyata.

Jelas argumentasi Descartes ini salah. Kenapa?

Pertama, karena argumentasi ini menghancurkan dirinya sendiri. Dengan tiga proposisi berturut-turut ini, jelas

1. Hubungan antara alam eksternal dan alam fikiran manusia terputus total.

2. Segala jenis penalaran apa [un nafi

3. Segala jenis pemikiran apa pun tidak absah,

Sehingga jika benar seseorang meyakini ketiga proposisi ini, tidak mungkin ia mempunyai pengetahuan ataupun keyakinan apa pun.

Kedua, dalam tiap proposisi dalam argumentasi tersebut terdapat kesalahan pengambilan kesimpulan karena terlalu menggeneralisasi. Contohnya adalah proposisi pertama, karena indera mungkin salah, maka kita mesti meyakini bahwa indera mungkin salah, tidak bisa digeneralisasikan menjadi bahwa indera selalu salah sehingga ia tidak mingkin pula ia benar. Demikian pula terjadi pada proposisi kedua dan ketiga.

Saya yakin Descartes sendiri tidak meyakini ketiga proposisi tersebut dalam artian yang hakiki. Contoh yang jelas adalah ketika Descartes menyatakan Cogito ergo sum (Aku berfikir, maka aku ada). Sebenarnya saat ini, Descaartes telah menggunakan metode penalaran silogisme Aristoteles;

Premis minor : Sesuatu yang berfikir pasti ada.

Premis minor : Aku befikir.

Konklusi : Aku ada.

Ini dapa dilihat langsung dalam pernyataan Descartes dalam dua paragraf berikutnya "La discours de la methode";

"Saya perhatikan bahwa dalam dalil "saya berfikir, jadi saya ada" tak ada suatu pun yang menjamin kebenarannya selain bahwa saya melihat dengan sangat jelas bahwa untuk berfikir saya harus ada."

Analisa historis mungkin menjelaskan kenyataan bahwa mungkin bagi kita untuk memahami "kesalahan logika" Descartes sebagai upaya untuk melawan sketisisme yang merajalela saat itu.

Lain lagi dengan Emmanuel Kant, yang membatasi alam eksternal di mana hukum logika berlaku. Menurut Kant; ilmu matematis memiliki kebenaran absolut, ilmu pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi memiliki kebenaran relatif, dan subyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai oleh akal manusia sama sekali. Pernyataan Kant ini mempunyai dua kemungkinan.

Pertama, pernyataan bahwa suyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai oleh akal manusia dalam arti harfiah. Tapi, bagaimana mungkin kita bisa menilai pernyataan Kant ini salah atau benar, sedang pernyataan itu sendiri menyangkut hal yang meta-fisis sehingga hal ini tak mungkin dicapai oleh akal kita sama sekali?

Kedua, jika artinya subyek-subyek metafisika tak mungkin dibahasakan sama sekali oleh akal manusia. Dalam hal ini, karena proposisi hal ini pula termasuk hal yang metafisis, proposisi ini pun tak mungkin dibahasakan sama sekali. Jadi seharusnya biarkanlah proposisi ini melanglang buana dalam alam mental kita tanpa pernah dinyatakan bahkan oleh Kant sendiri.

Relativisme parsial jenis lain mungkin seperti apa yang dinyatakan oleh Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus -nya;

"Sesuatu yang memang dapat dikatakan haruslah diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan sebaiknya didiamkan saja."

Secara khusus, Wittgenstein menyebutkan tiga hal yang tidak dapat diungkapkan secara jelas - yang disebutnya sebagai The Mystical-, sehingga sebaiknya didiamkan saja, yaitu ;

1. "Subyek tidak termasuk dalam lingkup dunia, melainkan hanya merupakan suatu batas dunia."

2. "Kematian bukanlah merupakan suatu peristiwa kehidupan, sebab kematian itu bukan merupakan kehidupan yang dijalani."

3. "Allah tidak menyatakan diri-Nya dalam dunia."

Jadi, jika seseorang meyakini proposisi Wittgenstein tersebut, ia tidak akan pernah mempermasalahkan adanya dirinya sendiri sebagai subyek, ada atau tidaknya kematian bahkan ada atau tidaknya Tuhan.

Relativisme parsial ala Wittgenstein tidak mengakui adanya alam mental, dan Wittgenstein langsung merelasikan alam kenyataan dengan alam bahasa. Lebih lanjut, ia membatasi alam eksternal yang dapat dirlasikan secara ekivalen dengan bahasa yang akurat, yaitu alam non-mistikal. Maka jika benar Wittgenstein berpendapat seperti ini, jelas pendapatnya salah. Kenapa?

Karena argumentasinya menghancurkan dirinya sendiri.

Pada saat Wittgeinstein membahas ketiga hal yang termasuk ke dalam The Mystcal, subyek, kematian, dan Allah, karena mereka semua tidak termasuk dalam lingkup dunia, maka dari-mana ia memperoleh kesimpula itu? Kalau dikatakan dari alam bahasa itu sendiri, bukankah menurutnya setiap proposisi harus jelas? Dan bukankah menurutnya setiap proposisi harus jelas? Dan bukankah menurutnya jelas adalah mewakili suatu keadaan faktual tertentu? Jadi secara otomatis, karena Wittgenstein memperoleh kesimpulan tentang subyek, kematian, dan Allah dari alam eksternalnya, ia musti memperolehnya dari alam mentalnya. Jadi argumentasi Wittgenstein memestikan keberadaan alam mental, minimal alam mentalnya sendiri.

Proposisi, "Sesuatu yang memang dapat dikatakan haruslah diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan sebaiknya didiamkan saja," Ini sendri tidak jelas. Kenapa? Karena masih bisa dipertanyakan lagi apa arti jelas dan arti "jelas" bagi setiap orang relatif. Misalnya ; mungkin kata "gaya" jelas artinya bagi seorang fisikawan, tapi tidak jelas artinya bagi fisikawan lain. Misalnya lagi dapatkan Anda menjelaskan kepada sya kapan sebuah jambu yang dimakan seseorang masih disebut jambu atau sudah menjadi bukan jambu? Jadi karena arti "jelas" itu relatif, tentu ia tidak dijamin jelas artinya bagi setiap orang. Arinya proposisi ini sendiri, didiamkan saja. Didiamkan seperti rumput yang bergoyang.

Keadaan orang yang meyakini paham relativis ini mengingatkan saya pada "Shummum bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uun." (Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali). Relativis seolah kehilangan seluruh inderanya, karena mereka sendirilah yang menafikannya. Kemudian bagaimana mereka bisa mengreksi kebenaran seluruh pengetahuan dan keyakinannya?

Kembali pada pembahasan semula, seorang yang meyakini pengetahuan ataupun keyakinan apapun mesti adalah absolutis. Kenapa? Karena jika ia tidak absolutis maka mustahil ia yakin apa pun yang ada dalam fikirannya mempuyai relasi dengan suatu yang benar-benar ada di alam nyata atau mustahil ia yakin bahwa ppernyataan keyakinan dalam alam bahasa sesuai dengan apa yang ada dalam fikirannya sendiri. Sehingga, ia tidak akan meyakini apapun atau walaupun meyakini terpaksa diam seribu bahasa akan keyakinannya tersebut.

Sebagai penutup, saya mengajak anda semua merenungi; wa qul jaa ‘al-haqqa wa zahaaqal-baathil, innal baathila kaana zahuuqa. (Dan katakan, telah tiba kebenaran dan telah lenyap kebatilan, dan sesungguhnya kebatilan itu benar-benar sirna). Yang benar tetap benar, dan harus kita katakan benar. Yang salah tetap salah, dan mestilah sirna.

Berawal dari Logika


Banyak orang bertanya dimilist-milist yahoogroups, ada yang bertanya karena ingin tahu, ada yang bertanya karena iseng, ada yang bertanya karena sekedar ingin menguji persoalan logika, dan ada juga yang sangat mengerti dengan logika dan memberikan perhatian yang serius tentang itu, mereka menanyakan apakah yang dimaksud dengan logika?

Pengertian dan asal-usul sejarah logika sudah pernah saya tuliskan disebuah artikel, ditailnya bisa dilihat disini dan disini

Sekarang mungkin lebih baik kalau kita bicarakan kelanjutan dari artikel itu saja, yaitu apakah ilmu logika itu hanya satu? Ini lebih menarik kita bicarakan karena disebuah milist yahoogroups kemarin masih ada yang bertanya, apakah yang disebut dengan logika cinta? Apakah cinta mempunyai logikanya sendiri?

Jawaban saya atas pertanyaan serupa itu jelas dan tegas, TIDAK. Cinta tidak mempunyai logikanya sendiri :)

Ada pula seorang pakar yang bertanya kepada saya, Bagaimana dengan multivalue logic dan fuzzy logic?

Tentu dari contoh pertanyaan tersebut rasanya perlu kita mengulas sedikit tentang pembagian logika itu sendiri.

Logika dapat disistematisasikan menjadi beberapa golongan, tergantung darimana kita mau meninjaunya. Sistematisasi Logika pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga, pertama dilihat dari segi kualitasnya, kedua dari segi metodenya dan yang ketiga dari segi objeknya.

Dalam artikel ini akan kita bicarakan yang pertama dulu, yaitu Logika dilihat dari segi kualitasnya. Dari segi kualitasnya Logika dibagi menjadi dua, pertama adalah Logika naturalis dan yang kedua adalah Logika ilmiah. Logika naturalis adalah sebuah kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akal bawaan manusia.

Pertanyaan seperti “apakah cinta mempunyai Logika nya sendiri?” adalah termasuk kedalam tinjauan logika naturalis, yaitu sebuah kemampuan alami dari seseorang untuk menggunakan Logika tanpa perlu mempelajari ilmu Logika terlebih dahulu.

Khabar baiknya untuk kita semua adalah, bahwa akal manusia memang dirancang untuk mampu berlogika secara spontan sesuai dengan hukum-hukum Logika dasar. Ini bisa dibuktikan dengan kemampuan semua orang untuk membedakan antara satu benda dengan benda yang lain itu adalah berbeda.

Betapapun rendahnya tingkat intelejensi seseorang, dia secara alami akan tahu bahwa sesuatu itu adalah dirinya sendiri. A adalah A bukan B, C, D ,E atau pun yang lainnya. Hal yang diketahui secara alami ini dalam ilmu Logika disebut sebagai Logika naturalis yang memenuhi kaidah dasar Logika yaitu asas pemikiran ketentuan nomor 1, yakni asas identitas. Ditail bisa dibaca disini :

Kita bisa saksikan disekitar kita aneka pernyataan dan pertanyaan yang pada dasarnya membicarakan Logika, mereka melakukan antraksi Logika naturalis dengan bobot dan cara yang berbeda-beda. Kemampuan mengolah Logika naturalis yang dimiliki oleh setiap manusia berbeda-beda tergantung tingkat intelejensi yang dimilikinya. Seorang orator politik bisa mengutarakan pernyataan-pernyataannya secara logis dan baik walaupun dia pada dasarnya belum pernah mempelajari ilmu Logika secara khusus. Seorang biduan bisa bernyanyi mengutip istilah-istilah Logika dengan baik walaupun dia sebenarnya belum tahu hubungan-bubungan Logika.

Namun sering juga kita temui banyak diantara mereka tidak bisa berbuat banyak ketika terlibat dalam kesulitan dan tekanan yang tinggi dalam berpikir, sering kesulitan dalam memecahkan persoalan itu dilakukan dengan mengikuti naluri alami yang lainnya saja, yaitu seperti mengikuti kecenderungan pribadi, kecenderungan kelompok, kecenderungan golongan, pengaruh teman, pengaruh kepentingan, dan sugesti-sugestiyang lainnya.

Tiba pada persoalan serupa diatas, maka terlihat jelas bahwa logika naturalis pada suatu titik akan mengalami jalan buntu. Untuk mengatasi kebuntuan berpikir seperti itulah maka orang-orang tempoe doeleo kemudian menyusun suatu aturan main dalam berlogika, yaitu sebuah aturan yang menyusun rumus-rumus, patokan-patokan dan hukum-hukum berpikir yang benar. Rumus-rumusan itu selanjutnya disebut dengan Logika ilmiah (logika Artifiliasi).

Logika ilmiah bertugas untuk memperhalus, mempertajam serta menunjukkan jalan pikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti, efisien , mudah dan aman.

Sekarang mari kita lihat penggolongan yang lainnya…

Penggolongan yang lainnya adalah dari segi metodeloginya. Dari segi metodenya Logika dapat dibagi menjadi dua, yaitu Logika tradisional dan logika modern. Logika tradisional adalah Logika Aristoteles dan semua logikawan setelahnya yang mengikuti sistem Logika aristoteles.

Logika modern mulai tumbuh dan berkembang setelah masa Aristoteles yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan penting, diantaranya adalah ketika diperkenalkannya metode baru semacam aljabar (Ars Magna) oleh Raymundus Lullus pada abad XIII.

Sejak pengenalan itu, akhirnya sampai juga kepada kita nama-nama besar lainnya seperti, Roger Bacon, Francis Bacon, Rene Descartes sampai dengan Goorge Boole dan Bertrand Russell sebagai tokoh logika modern.

Dilihat dari segi objeknya, Logika dapat dibagi menjadi logika formal dan Logika material. Logika formal bicara mengenai hukum-hukum, patokan-patokan dan rumus-rumus berpikir benar.

Sedangkan logika material lebih konsentrasi kepada metode induktifnya, yaitu meneliti atau mempelajari dasar-dasar persesuaian pikiran dengan kenyataan. Ia menilai hasil kerja logika formal dan menguji benar tidaknya dengan kenyataan empiris.

Dengan demikian maka sekarang semakin jelas bagi kita, bahwa logika sebenarnya selalu ada disekitar kita, baik kita mengetahuinya ataupun tidak. Logika bukan hanya se-onggokan ilmu yang jauh diseberang sana, tapi dia ada disini, disekitar kita. Disekitar kita sering berseliweran para pemakai logika naturalis